Gue menulis postingan ini ketika
gue menunggu kereta Serayu yang akan membawa gue kembali ke kehidupan nyata. Kembali
pada rutinitas seperti biasanya. Kuliah, ngajar, nongkrong, nanyain kabar
mantan. Dan kembali mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar di minggu/bulan/tahun
depan gue bisa kembali melakukan perjalanan seperti ini.
Seharusnya, saat ini gue udah ada
di dalam kereta. Tapi, sepertinya kereta yang akan gue naiki agak terlambat. jadi gue terpaksa harus
lebih lama menikmati stasiun Kiara Condong, Bandung. (Btw, gue menulis ini sambal
menikmati keindahan stasiun Kiara Condong. Dan menurut gue, stasiun ini cukup
indah dan bersih. Biar bisa dibilang pemerhati aja gue.)
awalnya, gue kira yang bisa delay itu cuma pesawat, ternyata kereta juga bisa. Kalau gini
terus, lama-lama delay akan menjadi
sebuah kebiasaan di dunia per-transportasi-an, lalu kebiasaan ini menjadi sebuah keresahan banyak orang. lalu ada seorang filmmaker yang merasa kebiasaan ini harus dibuatkan sebuah film agar tidak terus-terus berulang dan agar pemerintah lebih tegas terhadap kebiasaan buruk ini. setelah berpikir panjang, akhirnya diangkatlah kebiasaan tersebut menjadi sebuah film berjudul; Delay 1990.
Ada yang punya opsi judul lain?
Kalau lagi nunggu kereta gini, gue
selalu ingat sama kenangan-kenanagan gue beberapa tahun lalu. Ketika gue masih
pesantren. Menunggu datangnya kereta, sambil merenungi berapa lama lagi gue
akan pulang. Dulu gue selalu sedih ketika harus balik ke pesantren. Karena gue
harus kembali pada rutinitas yang ‘kurang’ gue suka. Bangun lebih pagi dari
biasanya. Makan lebih apa adanya dari biasanya. Nggak bisa nonton tv, nggak
bisa main hp, nggak bisa garukin kupingnya ajudan presiden. Tapi disanalah gue harus
membiasakan diri. Mungkin kalian pernah mendengar istilah; “Bisa karena biasa.”
Atau kalau kalian pernah nonton stand upnya Dzawin waktu di SUCI Kompas TV Season
4. Dia menggunakan istilah “Dipaksa - Terpaksa - Biasa - Terbiasa - Bisa - Luar biasa - Allahu Akhbar!!”
Kata yang sebenarnya, cuma berakhir
di ‘Luar Biasa’ ya. Takutnya ada yang nggak tau aja.
Seperti itulah alur perasaan gue
ketika harus balik ke Pesantren. Yang awalnya terpaksa, sampai akhirnya
terbiasa dan bahkan jadi lebih betah di sana. Beberapa kali, gue memilih untuk
menikmati liburan di Pesantren daripada harus pulang.
Gue sempet mikir, terkadang kita
tuh membenci sesuatu bukan karnuena kita menganggap hal tersebut buruk, tapi
lebih karena kita belum merasakan hal tersebut aja. Contoh, gue yang benci
harus balik ke Pesantren karena harus balik ke rutinitas yang kurang gue suka,
tapi pada akhirnya, gue justru betah banget dan saatnya liburan pun kadang gue
memilih untuk menghabiskan liburan di Pesantren daripada harus pulang. Dari sini
kita udah bisa nebak, kalau gue lebih memilih di Pesantren karena.. kehabisan
tiket.
Serius banget. Hahaha
Mungkin beberapa orang memiliki
contoh kasus yang berbeda, tapi pada intinya sama. Kita hanya butuh terbiasa
agar kita bisa. Jadi, mulailah membiasakan diri agar diri lebih mandiri.
Btw, kereta gue udah dateng. Kita lanjut
lagi nanti ya…
Terima kasih yang udah mampir.
I Love You.
Comments
Post a Comment